ilustrasi. sumber: koleksi Batik Merang |
Suatu hari, saya
memiliki ide untuk membuat baju Batik untuk saya kenakan sendiri. Entah,
bayangan saya kalau saya mampu mewujudkan ide itu dalam waktu dekat, saya pasti
akan sangat percaya diri karena telah berhasil membuat baju dengan motif Batik
yang mana Batik adalah identitas saya sebagai warga Pekalongan.
Tidak mau
menunda dan takut jika ide itu kabur begitu saja, saya pun segera membeli kain
mori dengan harga per meternya (si penjual waktu itu menawarkan untuk membeli
dihitung per meter apa per yard karena kebutuhan saya awalnya saya ukur dengan
meter) tidak lebih dari Rp 15.000. Saya membeli 3 meter untuk dua baju.
Kebutuhan ukuran ini kuketahui sebelumnya dari seorang kawan yang bekerja
sebagai penjahit baju hem.
Barangkali ide
saya itu muncul lantaran lingkungan saya yang memang padat oleh industri Batik
atau industri kain motif Batik. Di segala arah dari rumah saya, akan dapat
ditemui bahwa banyak sekali orang yang berprofesi di bidang industri jenis
pakaian ini. Salah satunya adalah rumah kakak saya.
Di rumah kakak
saya itulah kain mori yang sudah saya beli, saya babar mulai dari ngecap,
mewarnai, sampai akhirnya jadilah 2 potong kain Batik cap dengan gambaran motif
sedikit banyak sesuai dengan ide saya. Tak terlalu lama saya membuatnya. Dalam
waktu 5 hari sudah berubah kain mori putih bersih itu menjadi kain Batik.
Kain itu
kemudian saya bawa ke teman saya yang berprofesi sebagai penjahit baju hem.
Karena sebelumnya saya sudah konsultasi dulu dengan kawan saya ini mengenai
pola pemotongannya (tentang letak bagian depan, belakang, lengan dsb), teman
saya segera mengeksekusi kain Batik buatan saya itu. Dia potong kain itu di
depan saya. Sampai akhirnya teman saya itu duduk menghadap mesin jahitnya, lalu
dijahitlah kain yang sudah dipotong sesuai pola baju hem tersebut.
Baca pula cerpen lain kami tentang Batik di sini.
Saya tunggui
sampai selesai. Agak lama. Dari siang pukul 2, baru selesai pukul 4. Bagi saya
ini agak lama karena setahu saya, penjahit sekelas kawan saya ini mampu
menjahit sebanyak 20-30 baju dalam sehari. Jika saya hitung pakai logika saya
sendiri, 2 jam menghasilkan 2 baju adalah lama.
Tapi logika saya
runtuh oleh penjelasan kawan saya yang selera humornya tinggi itu. Katanya, kan
kalau jahitnya sekalian gitu, sekodi misalnya, dia jahit satu bagian dulu
semuanya. Terus baru pindah ke bagian lain, lalu bagian lainnya lagi, dan
seterusnya. Jadi tidak satu baju dijahit sampai jadi, terus baju kedua dijahit
lagi sampai jadi, ketiga, keempat dan seterusnya. Iya, bener juga. Jadi tidak
kebanyakan muter.
Untuk menjahit
baju hem, setidaknya dibutuhkan 3 jenis mesin jahit yang kesemuanya
berbeda-beda fungsinya. Pertama mesin jahit, untuk menjahit pakaian itu. Kedua
mesin obras, agar jahitan tidak cepat rusak. Dan yang terakhir, juga harus ada
mesin lubang kancing. Nah, di rumah teman saya ini ternyata tidak terdapat
mesin yang terakhir tadi. Ia menyarankan agar saya membawa ke tukang lubang
kancing yang jumlahnya lumayan banyak di Pekalongan ini. Saya pun pamit ke
teman saya itu kemudian beranjak pergi setelah sebelumnya kukasih teman saya itu
upah karena telah membantu saya.
Sore itu juga,
saya menuju ke sebuah rumah yang di depannya terdapat papan bertuliskan
"Menerima Lubang/Pasang Kancing". Di rumah itulah saya berikan baju
yang sudah hampir jadi itu. Langsung dieksekusi oleh bossnya. Jam sesore itu,
pekerja di rumahnya sudah pada pulang. Hanya kira-kira 5 menit, baju saya sudah
ada lubang dan kancingnya. Jadilah kini baju itu siap saya pakai. Saat saya
tanya harus bayar berapa, si boss itu malah menolak untuk dibayar. Saya
bingung. Di kemudian hari saya tahu ternyata ongkos lubang/pasang kancing ini
per lubangnya tidak bisa buat beli permen.
"Kapan-kapan
saja kesini lagi bawa 100 kodi bajunya. Hehehe" kata si boss itu. Akhirnya
saya hanya berterimakasih kepada si boss dengan perasaan yang cukup tidak enak.
Sampai di rumah,
saya segera mencuci 2 baju hem yang sudah siap pakai itu. Tak lupa, kucuci ia
dengan pewangi dan softener. Keesokan harinya, kupakai ia dalam sebuah acara
diskusi bersama kawan-kawan sebuah komunitas peduli lingkungan. Yang kemudian
membuat saya agak kikuk, di sana kami berdiskusi mengenai limbah Batik.
Social Plugin