Flash

6/recent/ticker-posts

Baju Batik Pertamaku

Cerita ini sudah cukup lama ditulis oleh Em, yaitu sekitar tahun 2013-2014 lampau. Cerita pendek ini bahkan termasuk sangat singkat karena hanya memiliki total kata sebanyak 650-an kata. Meski demikian, karena cerita ini masih seputar tentang Batik, tiada salahnya kami mengunggahnya di sini. Selamat membaca!

ilustrasi. sumber: koleksi Batik Merang


Suatu hari, saya memiliki ide untuk membuat baju Batik untuk saya kenakan sendiri. Entah, bayangan saya kalau saya mampu mewujudkan ide itu dalam waktu dekat, saya pasti akan sangat percaya diri karena telah berhasil membuat baju dengan motif Batik yang mana Batik adalah identitas saya sebagai warga Pekalongan.

Tidak mau menunda dan takut jika ide itu kabur begitu saja, saya pun segera membeli kain mori dengan harga per meternya (si penjual waktu itu menawarkan untuk membeli dihitung per meter apa per yard karena kebutuhan saya awalnya saya ukur dengan meter) tidak lebih dari Rp 15.000. Saya membeli 3 meter untuk dua baju. Kebutuhan ukuran ini kuketahui sebelumnya dari seorang kawan yang bekerja sebagai penjahit baju hem.

Barangkali ide saya itu muncul lantaran lingkungan saya yang memang padat oleh industri Batik atau industri kain motif Batik. Di segala arah dari rumah saya, akan dapat ditemui bahwa banyak sekali orang yang berprofesi di bidang industri jenis pakaian ini. Salah satunya adalah rumah kakak saya.

Di rumah kakak saya itulah kain mori yang sudah saya beli, saya babar mulai dari ngecap, mewarnai, sampai akhirnya jadilah 2 potong kain Batik cap dengan gambaran motif sedikit banyak sesuai dengan ide saya. Tak terlalu lama saya membuatnya. Dalam waktu 5 hari sudah berubah kain mori putih bersih itu menjadi kain Batik.

Kain itu kemudian saya bawa ke teman saya yang berprofesi sebagai penjahit baju hem. Karena sebelumnya saya sudah konsultasi dulu dengan kawan saya ini mengenai pola pemotongannya (tentang letak bagian depan, belakang, lengan dsb), teman saya segera mengeksekusi kain Batik buatan saya itu. Dia potong kain itu di depan saya. Sampai akhirnya teman saya itu duduk menghadap mesin jahitnya, lalu dijahitlah kain yang sudah dipotong sesuai pola baju hem tersebut.

Baca pula cerpen lain kami tentang Batik di sini.

Saya tunggui sampai selesai. Agak lama. Dari siang pukul 2, baru selesai pukul 4. Bagi saya ini agak lama karena setahu saya, penjahit sekelas kawan saya ini mampu menjahit sebanyak 20-30 baju dalam sehari. Jika saya hitung pakai logika saya sendiri, 2 jam menghasilkan 2 baju adalah lama.

Tapi logika saya runtuh oleh penjelasan kawan saya yang selera humornya tinggi itu. Katanya, kan kalau jahitnya sekalian gitu, sekodi misalnya, dia jahit satu bagian dulu semuanya. Terus baru pindah ke bagian lain, lalu bagian lainnya lagi, dan seterusnya. Jadi tidak satu baju dijahit sampai jadi, terus baju kedua dijahit lagi sampai jadi, ketiga, keempat dan seterusnya. Iya, bener juga. Jadi tidak kebanyakan muter.

Untuk menjahit baju hem, setidaknya dibutuhkan 3 jenis mesin jahit yang kesemuanya berbeda-beda fungsinya. Pertama mesin jahit, untuk menjahit pakaian itu. Kedua mesin obras, agar jahitan tidak cepat rusak. Dan yang terakhir, juga harus ada mesin lubang kancing. Nah, di rumah teman saya ini ternyata tidak terdapat mesin yang terakhir tadi. Ia menyarankan agar saya membawa ke tukang lubang kancing yang jumlahnya lumayan banyak di Pekalongan ini. Saya pun pamit ke teman saya itu kemudian beranjak pergi setelah sebelumnya kukasih teman saya itu upah karena telah membantu saya.

Sore itu juga, saya menuju ke sebuah rumah yang di depannya terdapat papan bertuliskan "Menerima Lubang/Pasang Kancing". Di rumah itulah saya berikan baju yang sudah hampir jadi itu. Langsung dieksekusi oleh bossnya. Jam sesore itu, pekerja di rumahnya sudah pada pulang. Hanya kira-kira 5 menit, baju saya sudah ada lubang dan kancingnya. Jadilah kini baju itu siap saya pakai. Saat saya tanya harus bayar berapa, si boss itu malah menolak untuk dibayar. Saya bingung. Di kemudian hari saya tahu ternyata ongkos lubang/pasang kancing ini per lubangnya tidak bisa buat beli permen.

"Kapan-kapan saja kesini lagi bawa 100 kodi bajunya. Hehehe" kata si boss itu. Akhirnya saya hanya berterimakasih kepada si boss dengan perasaan yang cukup tidak enak.


Sampai di rumah, saya segera mencuci 2 baju hem yang sudah siap pakai itu. Tak lupa, kucuci ia dengan pewangi dan softener. Keesokan harinya, kupakai ia dalam sebuah acara diskusi bersama kawan-kawan sebuah komunitas peduli lingkungan. Yang kemudian membuat saya agak kikuk, di sana kami berdiskusi mengenai limbah Batik.