Flash

6/recent/ticker-posts

Musim Hujan di Kota Batik

Cerita tentang sekelumit kehidupan Kuli Keceh di Pekalongan ini ditulis oleh Khalid Muhammad. Cerita pendek (cerpen) ini berjudul "Musim Hujan di Kota Batik". Cerpen ini ditulis pada akhir tahun 2016 silam. Langsung saja kami ucapkan, Selamat membaca.
sumber gambar: howtogeek.com
Musim hujan tengah berada di puncaknya. Hujan turun tiap malam. Gerimis membasahi tanah, dedaunan, siangnya. Langit, hanya sesaat-sesaat nampak cerah. Selebihnya ia terus muram, awan hitam bergelayut, mendung.
Di desaku, musim hujan berarti musim buruk. Pekerjaan kami membutuhkan panas matahari. Inilah kehidupan kami yang menggantungkan diri pada industri Batik.
Perkenalkan, namaku Andri. Teman-teman sedesa dan sekerjaku memanggilku Meri. Ia nama hewan sebenarnya, anak bebek. Tak ingin sekali aku menceritakan sejarah pemanggilan nama itu. Biar nanti, jika kalian sempat menemuiku, kuceritakan pada kalian.
Aku bekerja sebagai kuli keceh, yaitu pekerja paling rendah dalam indutri Batik. Di rumah juragan yang kupanggil Haji Sanusi. Aku telah bekerja selama 3 tahun sebagai kuli kecehnya bersama 7 orang sesama kuli keceh lainnya, tentu saja.
Sedikit saja kuceritakan pada kalian bagaimana aku bekerja. Itung-itung, kuperkenalkan kalian pada istilah-istilah dalam produksi Batik yang barangkali tak kalian kenali karena kalian lebih suka mengenali jenis-jenis motif Batik yang beredar di pasaran.
Kuli keceh bekerja mulai jam 8 pagi dan pulang jam 4 sore. Kecuali aku, di rumah industri Haji Sanusi ini aku harus sudah berada di tempatnya pada pukul 7 tiap paginya, Sabtu hingga Kamis. Ini disebabkan karena aku ditunjuk sebagai, sebut saja Kepala Kuli Keceh di pranggok (bangunan tempat kerja dalam industri Batik). Penunjukkan ini dikarenakan akulah satu-satunya dari 8 kuli kecehnya yang paling paham dan kenal mengenai bagaimana menakar dosis obatpewarna.
"Kemis Wage, Kemis Wage!" Di jalan kala aku berangkat kerja, kuteriakkan kata itu saat berpapasan dengan orang-orang yang sedang bercengkerama di gang rumahku.
"Pocoan.. Pocoan.." Teriak mereka membalas.
"Kliwonan Soooo..." Yang lain ikut teriak.
Kuhampiri sejenak orang-orang itu.
"Mangkat ora ge?" atau “berangkat enggak, nih?” Tanyaku pada mereka.
"Mangkat a loh.." yang artinya “Berangkat dong…” Jawab Sotong, yang tubuhnya penuh tatto meski warna kulitnya segelap tattonya.
Aku dan Sotong (nama panggilan), berangkat bareng seperti biasanya. Kami naik motor sendiri-sendiri dari dukuh kami, Sringgit menuju rumah Haji Sanusi, di Simbang Wetan, Buaran. Dari rumah sampai ke sana kami tempuh hanya sekira 10 menit perjalanan.
Sotong bukan kuli keceh sepertiku. Ia seorang kuli ngecap. Yaitu orang yang mengecap Batik. Kuli ngecap di tempat Haji Sanusi berjumlah 7 orang yang bekerja sebagai pekerja utama, primer. Terkadang jika sanggan sedang banyak, Haji Sanusi memanggil kuli ngecap orang mocok (sekunder), untuk ikut membantu kerja. Hal ini sudah umum dalam industri Batik.
Setibanya di pranggok, aku dan Sotong berpisah. Pranggok kami terpisah, memang. Kuli ngecap dengan kuli keceh tidak berada dalam satu bangunan. Sotong dan 6 orang lain bekerja di pranggok depan (bangunan berada di depan rumah Haji Sanusi), sedangkan aku dan 7 kuli keceh lain bekerja di pranggok belakang. Sotong, satu-satunya kuli ngecap di sini yang seringkali berangkat awal. Aku tahu tujuannya cuma satu, bisa pulang lebih awal.
Baca cerita pendek lain di blog ini, di sini.
Sebagai kuli keceh, umumnya di sini digaji tiap minggu dengan dihitung secara harian. Artinya, aku bekerja selama 6 hari dalam seminggu, tiap harinya aku diberi upah sebesar 65.000 rupiah. Berbeda dengan kuli ngecap, di mana mereka tak diupah harian, melainkan borongan. Mereka diupah dari berapa banyak mereka mengecap dalam seminggu, yang mana tiap mengecap satu kodi mereka diberi upah antara 15.000-20.000 rupiah.
"Obate sing entek opo bae, Ri?" atau “Obat apa saja yang sudah habis stocknya?” Saat sedang bergantai pakaian kerja, Haji Sanusi menanyaiku.
"Sek, Pak Kaji. Wingi wis tak cek." Yang berarti “Sebentar, Pak Haji, kemarin sudah saya periksa.” Aku mempercepat ganti pakaianku. Berjalan menuju meja penakaran dosis obat pewarna.
Kubuka laci meja tersebut, kuambil buku yang belepotan obat pewarna di sana. Kubuka-buka lembaran buku kecil itu, lalu,
"ASG, BO, Nitrit, Pak Kaji. Karo Prosyene BNH, O3R, karo FG." Ucapku sambil kemudian menyerahkan buku kecil itu kepada Haji Sanusi.
"Soda Ash isih po?", artinya “Soda Ash, masih?”
"Isih, Pak Kaji." Haji Sanusi pun meninggalkanku. Aku segera mulai menakar, menimbang obat pewarna yang akan digunakan untuk mewarnai Batik pada hari ini.
Hingga seharian pada Kamis itu, aku bekerja. Menimbang obat pewarna, mengerek, mencelup, melorod, hingga mencuci dan menjemurnya.
Pada sore hari itulah, aku dan pekerja lainnya menampilkan wajah penuh senyum. Sudah menjadi hal umum, bagi kami pekerja rendahan seperti ini, Kamis menjadi hari yang spesial sekaligus menyenangkan. Sebabnya jelas dan hanya satu; kami menerima poco'an alias gajian. Memang, terkadang poco'an tidak selalu dibagikan tepat usai kami selesai bekerja pada hari Kamis. Pernah malah Haji Sanusi telat memberi kami poco'an hingga malam Jum'at. Sebagai kepala kuli kecehnya, aku sih bisa memahami penyebab keterlambatan itu. Tapi seringkali tidak bagi kuli-kulinya yang lain.
Haji Sanusi bukanlah orang yang berada di puncak tertinggi dalam industri Batiknya ini. Beliau hanyalah buruh. Jangan bingung, biar kuberi tahu kalian. Begini...
Haji Sanusi hanya menggarap orderan Batik dari Bosnya, yaitu mereka yang sudah memiliki merek atau brand Batik mereka sendiri. Aku tahu, selembar kain dihargai 13.000-20.000 rupiah dari si Bos tadi kepada Haji Sanusi. Jenis hubungan kerja antara Haji Sanusi dengan si Bos pun tidak terikat apapun, yang berarti keduanya bisa memutuskan hubungan kapanpun, dengan atau tanpa alasan. Hal ini juga terjadi antara Haji Sanusi dengan kuli-kulinya. Tidak ada ikatan apapun, kontrak atau sejenisnya. Berarti sama, Haji Sanusi dan setiap kulinya, boleh secara sepihak memutuskan hubungan kerja. Tanpa diperlukan surat. Bahkan, terkadang tanpa pamit keluar kerja pun sudah biasa di sini.
Pada Kamis usai menerima poco'an sebesar 390.000 rupiah, aku dan yang lain pun pulang dengan senyum lebar. Aku tahu, poco'anku adalah yang paling besar di antara kuli keceh lain. Haji Sanusi memberi upah kuli keceh selain aku mulai dari 45.000 hingga 55.000 rupiah, disesuaikan dengan seberapa ahli kuli kecehnya itu. Penilaian ini murni secara subjektif oleh Haji Sanusi sendiri sebagai juragan kami.
Pekerjaan kuli keceh memang cukup berat. Nasiblah yang mengantarkan kami pada pekerjaan rendahan ini. Akan tetapi setidaknya aku sadar bahwa pekerjaan kami halal meski pun tak kami pungkiri dari hasil pekerjaan ini, sering kami pakai untuk membeli nomer togel.
Rasanya, seberat apapun pekerjaanku sebagai kuli keceh, aku belum memikirkan untuk beralih profesi. Selain alasan karena minimnya keahlianku, aku juga sadar bahwa aku bukan orang berpendidikan yang sekolahnya tinggi. Aku, dan orang-orang lain seprofesi sadar, bahwa kami memang kalangan terendah dalam strata sosial. Tidak berpendidikan, kerja hanya sebagai kuli.
Namun demikian, aku masih bersyukur, aku tak terlalu peduli dengan status sosial macam itu. Aku tak peduli. Aku lebih peduli pada pekerjaanku sebagai kuli keceh. Iya, ini harus kupedulikan karena saat memasuki musim hujan seperti saat ini, bukan hal baru bahwa itu juga berarti industri Batik memasuki musim sepi.
Aku kurang paham sebabnya, tapi setiap tahun selalu saja lesunya indutri Batik ini terus terjadi. Selentingan suara orang-orang saat kondisi sepi adalah bahwa permintaan pasar turun. Dan tahun ini, 2016, penurunan permintaan pasar itu demikian dalam. Sepi, sepi, sepi, hingga bahkan aku sudah hampir 2 bulan berhenti bekerja di rumah Haji Sanusi. Tentu, bersama kuli-kulinya lain. Tahun ini benar-benar menyedihkan bagi orang-orang seperti kami. Kamis Kliwon hari itu, menjadi hari terakhir kami bekerja penuh dalam seminggu. Hari-hari berikutnya, kami bekerja paling banyak empat hari dalam seminggu. Sampai akhirnya kami benar-benar terpaksa berhenti karena Haji Sanusi tak menerima order dari Bosnya. Sekodi atau dua kodi pun.
Tiba-tiba dalam kondisiku yang sedang merenungi hal ini, seorang kawan menelpon,
"Kerja ora, Ri?" Tanpa basa-basi, suara di sana langsung bertanya. Aku tahu, ia adalah Syahid, temanku yang kuliah di perguruan tinggi di Pekalongan. Ia seorang mahasiswa yang aktif, ia aktivis Serikat Mahasiswa Indonesia.
"Ora, bro. Piye iki kok kerjaan sepi terus ngene ki?" Keluhku menjawab pertanyaan temanku itu yang artinya, “Enggak, bro. Gimana nih kok kerjaan sepi terus seperti ini?”
"Wah iyo, Ri. Tahun iki jan pancen sepi tenan. Menyeluruh. Wingi wae aku melu ngawal demo buruh, sing didemo ora nggatekno blas!" Jawab Syahid.
Kami pun mengobrol melalui sambungan telpon itu hingga akhirnya kami janjian akan bertemu nanti malam, ngopi. Tentu saja telah kusampaikan agar ia mentraktirku karena aku sedang dalam kondisi kere.
Aku mendesah usai menutup telpon. Otakku menakar sesuatu.
Buruh!
Ah. Kenapa mahasiswa-mahasiswa seperti Syahid itu lebih suka mengawal demo buruh? Kepalaku sesaat pusing. Sukar sekali untuk berpikir.
Bukankah orang sepertiku ini juga buruh? Yang hak-haknya juga perlu dibantuperjuangkan oleh mereka para agen perubahan? Ah, kepalaku berdenyut. Agen perubahan sosial!
“Taik, ah!” Umpatku dalam hati.
Aku kemudian keluar dari kamarku, mengambil pancing. Lalu pergilah aku memancing dengan terlebih dahulu menghampiri Sotong untuk kuajak mancing bersama di sungai yang angker, yang kisahnya sedang ramai diceritakan di forum kaskus itu.
"Dewe ki buruh udu, Tong?" Aku coba membuka pembicaraan saat kami berdua sudah mulai fokus pada kail kami. “Kita ini buruh, bukan, Tong?”

"Udu a... Dewe ki po? Kuli!" jawab Sotong sambil mulai menyulut kretek.

Demikianlah cerpen Musim Hujan di Kota Batik ini kami sajikan. Semoga cukup bernilai. Terimakasih.